Allah Azza wajalla telah
menciptakan segala sesuatu dengan ukuran-Nya, dan hal prinsip dalam
ukuran ini adalah keseimbangan. Maka coba tengok saja,
adakah ciptaan Allah yang keluar dari keseimbangan ini? Mulai dari
penciptaan galaksi dan alam semesta hingga sampai pada materi terkecil
dari suatu benda yang dikenal dengan istilah atom. Semuanya sesuai
dengan ukuran. Tidak lebih. Dan tidak kurang.
Jika
kemudian kita menemukan fakta bahwa ada beberapa ciptaan-Nya yang
memang dikehendaki untuk tidak seimbang, semisal manusia yang kakinya
hanya sebelah dan seterusnya maka itu bukanlah penyimpangan dari kaidah
umum, namun pasti ada hikmah yang dikehendaki-Nya untuk si makhluk
tersebut dan untuk manusia-manusia lain di sekitarnya. Entah tentang
kesabaran, tentang kesyukuran, tentang kelemahan manusia sebagai
makhluk, dan tentang-tentang yang lain yang bila kita benar dalam
memandang fenomena itu maka ada banyak pelajaran yang akan bisa diambil.
Dan ternyata,
Allah tidak hanya menyifatkan keseimbangan ini pada benda/materi yang
dapat terindra. Tetapi Dia juga menjadikan keseimbangan ini sebagai
warna pada segala hal, pun yang sifatnya bukan materi. Misalnya ketika Dia menjadikan umat islam adalah umat yang pertengahan dan melarang sikap berlebih-lebihan (tidak wajar) dalam menjalankan agama ini.
Allah SWT berfirman, "Dan
demikian (pula) Kami telah menjadikanmu (ummat Islam), ummat yang
pertengahan dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia
dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)mu." (Al-Baqarah: 143).
Diriwayatkan dari 'Abdullah bin Mas'ud r.a. berkata, "Rasulullah saw. bersabda, 'Celakalah orang-orang yang melampaui batas!' Beliau mengucapkannya tiga kali.” (HR. Muslim; 2670).
Lebih
jauh lagi, ternyata Rabb Yang Paling Tahu tentang apa yang terbaik bagi
kita juga telah menggariskan melalui Sabda Rasul-Nya bahwa prinsip
keseimbangan itulah yang hendaknya mewarnai hati dan perasaan kita dalam
aktivitas utamanya : mencintai dan membenci.
Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Cintailah
orang yang kamu cintai sewajarnya, boleh jadi pada suatu hari kelak ia
akan menjadi orang yang engkau benci. Dan, bencilah orang yang kamu
benci sewajarnya, boleh jadi pada suatu hari kelak ia akan menjadi orang
yang engkau cintai." (HR. At-Tirmidzi)
Cinta
dan benci, adalah dua hal yang substansi/muatannya beda jauh tetapi
pembatasnya hanyalah selaput tipis yang mudah robek. Jika bisa
diibaratkan hati kita ini sebagai organ jantung, maka
cinta layaknya darah bersih yang kaya akan oksigen sedangkan benci
adalah darah kotor yang muatannya adalah karbondioksida. Pembatas dua
darah yang peranannya berbeda jauh ini hanyalah berupa katup dan dinding jantung. Jika jantung melakukan aktivitas memompa dengan normal dan wajar,
maka darah bersih dan darah kotor ini pun takkan merugikan karena
keberadaan keduanya merupakan salah satu siklus penunjang kehidupan
manusia. Namun jika karena ada tekanan yang berlebihan pada jantung
sehingga ia bekerja tidak sewajarnya, maka bisa jadi akan mengakibatkan kebocoran pada dinding jantung atau katup, sehingga bercampurlah darah kotor dengan darah bersih yang jika dibiarkan akan dapat membawa pada kematian.
Begitulah dahsyatnya energi dari cinta dan benci yang tidak dikelola dengan menggunakan prinsip keseimbangan/kewajaran. Ia akan mampu membinasakan pemiliknya. Seperti kisah yang sudah sangat terkenal semisal Laila Majnun, Romeo Juliet, dan seabreg kisah
roman picisan yang akhirnya ditiru oleh manusia yang mengaku dirinya
para "pecinta" yang karena cintanya yang teramat dalam ( katanya alias Jere..) kepada
kekasihnya maka berlakulah bagi mereka kaidah-kaidah: jika kau mati ku
juga mati, atau jika kau putuskan aku maka ku mati, atau jika kau sakiti
hatiku kau yang kupastikan mati. Naudzubillah..
Sering kita jumpai berapa banyak pasangan yang semula sangat memuja pasangannya tapi kemudian karena ada satu dua hal kecil yang tidak ia harapkan dilakukan pasangannya maka kemudian yang terjadi adalah pertengkaran tanpa ujung. Dengan sekejap, cinta yang menggunung tiba-tiba berganti dengan benci yang pekat bergulung-bergulung. Yang akhirnya membawa kepada perceraian dan permusuhan seumur hidup.
Maka bijak sekali Umar bin Khattab ra yang menasehati putranya: "Hai Aslam, jangan jadikan cintamu sebagai beban dan jangan sampai bencimu membuat binasa."
Aku bertanya: "Bagaimana hal itu bisa terjadi?"
Beliau mengatakan: "Jika
engkau mencintai, janganlah berlebihan seperti seorang anak kecil
mencintai sesuatu. Dan, jika engkau membenci, janganlah berlebihan
hingga engkau suka mencelakai sahabatmu dan membinasakannya." (Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad)
Atau juga yang telah diungkapkan melaui bait-bait indah para penyair.
Jika engkau membenci, bencilah dengan kebencian sewajarnya
Karena sesungguhnya engkau tidak tahu, suatu ketika engkau akan kembali
Jika engkau mencintai, cintailah dengan cinta sewajarnya
sebab engkau tidak tahu, suatu ketika engkau memutus cinta itu
(Hadbah bin Kasyram)
Cintailah kekasihmu dengan cinta sewajarnya
Niscaya tidak akan membebanimu bila kamu memutus cinta itu
Dan bencilah musuhmu dengan benci sewajarnya
Karena bila engkau berusaha untuk mencintainya maka engkau akan bersikap bijak padanya
(An-Namar bin Taulab)
Karena, cinta itu bagi kita
adalah layaknya air bagi tanaman. Jika kekurangan air maka tanaman itu
akan layu, meranggas, kemudian mati. Dan jika berlebihan, air itu akan membusukkan akar-akarnya dan mencabutnya juga dengan paksa dari kehidupannya. Maka mintalah kepada pasangan hidupmu, agar mencintai anda secara wajar http://semestawanita.blogspot.com
(( Griyayasa Tangerang barat ))
Tidak ada komentar:
Posting Komentar